Singing Hatsune Miku
Posted by : Wahyu Dwi Prasetyo Juni 01, 2014


“Maaf ya, kayaknya mulai sekarangkita jadi temen aja. Maaf ya …”

Kata-kata itu selalu terngiang di benakku. Kata-kata yang paling kusesalikarena telah pernah kuucapkan. Kata-kata yang sampai detik ini selalu mampumembuatku sakit.
Seminggu yang lalu aku telah melakukan hal yang sangat bodoh. Aku meutuskanhubungan dengan seseorang. Seseorang yang begitu baik dan perhatian padaku. Akutak tahu mengapa aku bisa melakukan itu. Tapi, yang jelas, sekarang aku sangatmenyesalinya.
Saat kulihat ia mulai dekat dengan sahabatku, rasanya sakit. Sungguh menyiksa.Namun, tak ada yang tahu tentang semua ini. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.Lebih mernyakitkan lagi saat aku tahu bahwa kini ia sudah punya kekasih baru.Hatiku hancur. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menangis bersama derasnya hujanyang kini telah membasahiku, agar tidak ada satu orang pun yang menyadarai airmataku.


“Far, ke kantin, yuk! Laper gue belum sarapan.” Seru Risa, sahabatku, sambil menggandeng tanganku.
“Yaudah.” Sahutku, dan kamipun berjalan bersama menuju kantin sekolah.

Aku dan Risa mengambil tempat di pojok. Risa segera memesan nasi uduk dan teh manis. Sedangkan, aku hanya memesan terh botol. Saat sedang asik mengobrol dengan Risa, pandanganku tertumbuk pada meja di depanku. Ada dua orang yang sedang berbincang-bincang di sana. Seketka hatiku miris. Rasanya ada cairan hangat yang menggenang di pelupuk mataku. Tatkala aku menyadari siapa mereka. Dan mereka adalah Bima, mantan pacarku, yang diam-diam mulai kusukai (lagi), dan Gita, pacar barunya. Aku mengerjap-ngerjap agar air mata ini tidak tumpah
“Far! Far!” kurasakan seseorang mengguncang-guncangkan lenganku.
“Eh, Ris, ada apa” tanyaku bingung.
“Aduh, aduh. Thalita Farah Ibra, harusnya gue yang nanya, lu kenpa? Dari tadi bengong-bengong nggak jelas.
“Oh, ehm, nggak kok. Gue nggak apa-apa. Udah belum makannya? Udah mau bel nih.”
“Udah kok. Hayu deh.” Dan kamipun kembali ke kelas.

Pelajaran hari ini kulalui dengan kesedihan yang kupendam. Pandanganku memang tertuju pada materi yang dijelaskan oleh Pak Ahmad, Guru fisikaku, tapi pikiiranku serasa melayang entah ke dimensi mana.
Dengan langkah gontai kuberjalan pulang. Tapi, aku tidak ingin langsung pulang ke rumah, aku ingin menenangkan diriku dulu di taman yang berada di area komplek rumahku. Taman yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah.
Sampai di taman, aku duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon besar. Sejuk sekali. Rasanya sedikit kegundahanku menghilang bersama semilir angin yang berhembus.

“Farah!” seseorang mengejutkanku. Aku berbalik, dan tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Bi…Bima?!”
“Yaelah gitu amat ngelihat gue nya, dikira gue dedemit penunggu nih taman apa -.-“ keluh Bima sambil duduk di sampingku.
“Hehe, maaf deh. Tapi, emang agak mirip sih. Haha”
“Wah tengil nih bocah. Belum pernah dijitak sama titisannya Prince William ya!” sru Bima sambil menaik-naikkan kerah seragamnya.
“Idih, iyyuhhhh, jijaya badayyy. Narsis lu.”
“Haha biarin dong lebih baik narsis daripada minder.”
“Tapi nggak gitu juga kaleee….”
“Haha iya aja dah biar cepet. Btw, lu ngapain di sini?”
“Nggak ngapa-ngapain. Iseng aja males langsung pulang. Lu sendiri ngapain di sini?” berada didekatnya membuat jantungku berdegup kencang. Ternyata aku benar-benar menyayanginya.
“Nggak tahu deh. Iseng aja lewat sini. Hehe”
“Ihh aneh.”
“Biarin deh aneh juga, yang penting tetep kece kan…”
“Masampun narsisnya maksimal. Cape deh. Haha ’’
“Hehehe…”
“Ehm, Far, boleh nanya sesuatu nggak?” ia menatap dalam mataku
“Boleh. Nanya apa?”
“Tulisan stenografi yang ada di buku harian lu itu maksudnya apa sih? Gua nggak paham dah.”
“Stenografi? Yang mana?”
“Itu loh yang di buku harian lu. Gua pernah nggak sengaja baca. Hehe, maaf ya.” Serunya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Oh yang itu. Hem… iya nggak apa-apa kok. Lu beneran mau tahu?”
“Iya. Apaan?”
“Nggak usah deh.”
“Ahh lu mah gitu. Kasih tahu dong. Please.”
“Yaudah deh. Eee…itu sebenernya…maksudnya…gue…gue sayang sama lu. Gue tahu gue emang bodoh udah nyia-nyiain lu. Dan sekarang karma itu datang ke gue.”
“Jadi itu?”
“Ya. Maaf atas pengakuan gue ini.”
“Nggak apa-apa kok. Gue malah seneng denger kejujuran lu.”
“Trims. Tapi sayangnya gue terlambat nyadar tentang perasaan gue.”
“Iya, sayang banget lu telat, Far.”
“Yaps. Tapi nggak apa-apa kok. Daripada nggak pernah sama sekali kan.”
“Iya juga sih.”
“Haha yaudah gue balik duluan ya, udah sore. Longlast with Gita. Bye.”
“Iya. Daaahhh…”

Dengan berat hati aku melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkannya. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama didekatnya, namun apa daya, aku harus pulang. Hari sudah petang.
***

Hari ini aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Perasaanku berbunga-bunga sejak insiden kemarin. Berada didekatnya sungguh membuatku nyaman. Senang sekali.
Aku berjalan dengan riang menuju kelas. Namun, entah mengapa, tiba-tiba kepalaku terasa begitu sakit. Pandanganku berputar, dan seketika semuanya berubah gelap disekitarku.

“Farah…” sayup-sayup kudengar namaku disebut. Kucoba membuka mata, dan kulihat sekelilingku begitu terang.
“Dimana ini?” tanyaku lirih
“Lu di UKS, Far. Tadi lu pingsan.” Aku yakin itu suara Risa.
“Yaudah gue mau ke kelas.” Ucapku mencoba bangkit.
“Jangan dulu deh, Far. Muka lu masih pucet banget.”
“Tapi, Ris…”
“Sttt… udah jangan keras kepala. Lu di sini aja. Ntar gue izinin ke Miss Lina. Gue ke kelas dulu, ya, ntar gue ke sini lagi.”
“Yaudah,yaudah. Trims ya.” Dan Risa pun meninggalkanku sendiri di ruangan yang sangat bau dengan obat-obatan ini. Huft…

Tok … tok … tok …
Seseorang mengetuk pintu UKS.
“Masuk aja.” Seruku

Seseorang masuk sambil tersenyum padaku.
“Hai, Far. Gue denger lu pingsan, makanya gue langsung ke sini.”
“Iya, hehe. Trims.” Orang itu duduk di samping tempat tidur, dan menggenggam tanganku.
“Maafin gue, ya. Sebenernya gue juga masih punya rasa sama lu. Tapi …”
“Tapi, rasa itu jauh lebih besar buat Gita. Iya kan, Bim?! Gue tahu kok. Nggak apa-apa lagi. Woles aja.”
“Maafin gue ya, Far.”
“Nggak ada yang perlu dimaafin. Lu nggak salah apa-apa.”
“Gue sayang sama lu, Far.”
“Gue juga. Sayang banget malah. Hehe . uhuk …uhuk…
“Lu kenapa, Far?”
“Nggak, gue nggak apa-apa kok.”

30 menit sudah aku berdua dengan Bima, orang yang aku sayangi. Jantungku semakin berdebar. Mukaku pasti memerah karena tersipu.
“Farah…” Risa datang menghampiriku, dan disampingnya ada…………. Gita.
“Ehh, ada Bima toh.” Lanjutnya
“Hai Ris, Hai Gita.”
“Gimana keadaan lu sekarang?” Tanya Gita berdiri disamping Bima.
“Alhamdulillah udah mendingan kok. Makasih ya udah pada ke sini.”
“Sama-sama. Namanya juga temen.”
“Hehe iya. Uhuk….uhuk….”

Sakit sekali. Aku tak bisa berhenti batuk, dan… ada cairan kental berwarna merah keluar dari sela bibirku.
“Far, lu kenapa? Farah!” sayup-sayup kudengar suara mereka disela-sela batukku. Dan kurasakan seseorang menggendong tubuhku.
“Temen-temen, gue nggak apa-apa kok. Beneran deh.” Ucapku lirih.
“Nggak apa-apa gimana, lu daritadi batuk darah nggak berhenti-berhenti gitu.” Aku yakin itu suara Bima.
***

10 menit kemudian kami sampai di suatu tempat. Kurasa Rumah Sakit. Dan benar saja, begitu sampai, beberapa orang berseragam putih-putih membopongku dan membaringkanku pada sebuah brankar. Bima, Risa, dan Gita mengikuti di sampingku.
Sampai di ruangan super terang …
Dua orang suster memasang berbagai alat di tubuhku. Aku tidak suka ini. Aku tahu penyakitku apa, tapi aku sungguh tidak suka terlehat lemah seperti ini. Sama sekali !!!
Dadaku sesak sekali. Sekjur tubuhku serasa kaku.
“Maaf, kemungkinan hidup bagi Farah semakin kecil, kerusakan pada ginjalnya sudah semakin parah. Terlebih lagi, dia sepertinya sudah lama tidak melakukan cuci darah.” Aku mendengar suara dokter itu.
“Apa maksud dokter? Farah sakit apa?” itu pasti suara Risa
“Kalian tidak tahu? Nak Farah ini mengidap gagal ginjal yang sudah kronis. Dia harus menjalani cuci darah seminggu sekali. Dan, maaf, saat ini penyakitnya sudah sangat parah.”
“Apa?! Nggak mungkin!” suara Bima.
“Maafkan saya, Mas.”
“Farah, lu harus sembuh! Gue yakin lu bisa lalui ini.” Risa, dia menangis. Aku tidak suka melihat sahabatku menangis, terlebih karena aku.
“Ris, maafin gue ya. Lu nggak boleh nangis apalagi karena gue.”
“Lu kenapa sih nggak pernah cerita tentang penyakit lu ke gue!?”
“Maaf, Ris. Gue nggak mau lu sedih.”
“Lu harus sembuh, Far. Harus sembuh!”
“Gue capek, Ris. Gue pengen tidur.” Ucapku lirih
“Nggak! Lu nggak boleh ngomong gitu! Lu harus sembuh! Pasti sembuh!”
“Tapi gue udah capek, Ris. Capek.”
“Gita, gue mau ngaku sesuatu sama lu.”
“Apa Far?”
“Sebenernya, Bima itu mantan gue. Tapi gue nyia-nyiain dia. Dan, sekarang, karma itu dating ke gue. Gue sayang banget sama Bima. Tapi, lu tenang aja, gue nggak akan ganggu hubungan kalian. Lagipula, Bima sayangnya sama lu, bukan gue. Gue Cuma masa lalunya. Gue Cuma minta satu hal, jaga cinta kalian ya. Harus harmonis. Langgeng. Jangan berantem terus. Jaga Bima buat gue, ya.”
“I…iya Far. Makasih. Tapi lu harus sembuh.” Gita terisak
“Bima, gue saying sama lu. Sayang banget. Maaf ya, gue pernah nyia-nyiain lu. Maaf gue emang bodoh. Lu jangan pernah sakitin Gita, ya. Gue juga titip sahabat gue, Risa.”
“Ris, makasih banget ya buat semuanya. Lu emang sahabat gue yang paling baik. Gue saying sama lu.” Dengan lirih dan lemah kugenggam jemari mereka.

Tubuhku lemas sekali. Dadaku semakin sesak. Aku hanya bisa menggumamkan tasbih disela-sela sakitku.
“Farah!!!”
Semua gelap. Dan akupun terlelap …

“Hujan yang turun kini
Menjadi saksi penyesalanku …
Bersama hujan pula
Kubawa cintaku ini
menuju kedamaian abadi …
selamat tinggal kasih,
selamat tinggal …”

TAMAT

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Everlasting - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -